Sabtu, 21 Juli 2012

Warga Harjokuncaran Datangi Kantor BPN Malang


TEMPO.CO, Malang - Sekitar 800 warga Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis siang, 19 Juli 2012, berunjuk rasa di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Jalan Terusan Kawi, Kota Malang.

Warga yang datang menumpang 14 bis itu menuntut agar BPN membantu menyelesaikan kasus tanah Harjokuncaran. Mereka meminta  tanah seluas 620 dari 666 hektare yang saat ini dikuasai Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) Komando Daerah Militer V/Brawijaya dikembalikan kepada warga.


Di tengah pengawalan polisi,  Asmuddin, 61 tahun, berorasi menyatakan seluruh tanah yang dikuasai Puskopad dan kemudian disewakan ke Perkebunan Telogorejo Baru merupakan milik leluhur mereka.


“Saya asli orang Harjokuncaran. Saya tahu sejarah kampung kami. Semua yang ikut hadir di sini pasti tahu kami punya kali yang namanya dari nama leluhur kami. Itulah salah satu bukti bahwa tanah itu milik kami yang dirampas!” kata Asmuddin.

Ketujuh sungai kecil itu bernama Kali Pak Riyadi, Kali Mbah Wongso Pait, Kali Pak Ngateman, Kali Pak Tuminem, Kali Pak Mukhyar, Kali Pak Sarmin, dan Kali Pak Djojo.


Penegasan serupa disampaikan Kepala Dusun Mulyosari, Edy Zamroni. Ia menyatakan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam kasus Harjokuncaran. Pelanggaran dibuktikan dengan hilangnya tiga dari empat dusun serta hilangnya enam warga.


Sepanjang 1973-1979, TNI menggusur Dusun Banaran, Wonosari, dan Margomulyo sampai tinggal Dusun Mulyosari saja. Sejak 1976, perlawanan terhadap TNI sudah dilakukan. Warga yang melawan dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.


Perlawanan warga memuncak dengan hilangnya enam warga pada 1986. Sutik (Kepala Dusun Margomulyo) beserta lima tokoh masyarakat (Jumain, Wage, Ponimim, Madolah, dan Sujiat) hilang dan sampai sekarang tidak ditemukan.


“Isu yang beredar, mereka hilang setelah di-
glang (dimasukkan ke dalam karung), lalu dibuang ke dalam jurang. Di Harjokuncaran, kan, banyak jurang dan dulu masih berhutan lebat,” ujar Zamroni yang masih berkerabat dekat dengan Sutik. “Pak Sutik itu paman saya.”

Rustinah, pria berumur 100 tahun, bercerita bahwa pada era 1970-an tak ada warga yang berani melawat militer. Warga tiga dusun itu lebih memilih diam dan jadi penurut ketimbang dicap sebagai anggota PKI.


Seingat Rustinah, pada 1974-1975 pemerintah menjanjikan surat-surat tanah Letter E yang dipunyai warga akan diubah menjadi sertifikat hak milik. Warga pun senang hati mengumpulkan Letter E dan bersedia pindah ke Dusun Mulyosari pada 1976 karena mengira urusan sertifikasi tanah mereka sudah beres. Namun ternyata kampung mereka justru dijadikan perkebunan. “Kami merasa ditipu mentah-mentah,” kata Rustinah dalam bahasa Madura yang diterjemahkan seorang warga.


Dalam aksi itu, enam wakil warga (Edy Zamroni, Fathurozi, Hadi Suyatno, Malik, Haryono, dan Nurwahid), diterima Kepala BPN Kabupaten Malang, Didik Warsono. Pertemuan di dalam kantor yang dikawal ketat itu berlangsung kurang dari sejam.


Menurut Didik, BPN siap membantu warga, tapi tak bisa membuat keputusan sendiri karena urusan sengketa tanah Harjokuncaran sudah masuk kewenangan BPN pusat. Didik mempersilakan warga menempuh jalur hukum sesuai prosedur yang berlaku. “Kami minta warga membuat surat permohonan agar semua berkas mereka bisa diurus. Tolong juga dilengkapi kelengkapan data tanah itu. Prinsipnya kami siap membantu mereka,” ujar Didik.


Fathurozi, koordinator aksi, menyambut baik saran Didik. “Kami siap kembali ke sini untuk memenuhi saran mereka. Kami minta BPN bersedia membantu kami tanpa berpihak kepada lawan kami. Selebihnya, kami bisa menerima argumen mereka bahwa urusan ini bukan kewenangan mereka, tapi BPN pusat.”


Fathurozi dan seluruh warga bergeming bahwa mereka yang paling berhak atas tanah Perkebunan Telogorejo Baru. Dasar kepemilikan warga sebenarnya sudah diakui oleh Direktorat Jenderal Agraria pada 1 Desember 1981 mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 190/DJA/1981 yang menyatakan tanah sengketa itu merupakan obyek landreform dengan verponding (hak milik zaman Belanda) nomor 1289 dan 1290 yang seharusnya sudah diberikan ke 2.525 keluarga di tiga dusun dalam Desa Harjokuncaran.


Namun, hingga sekarang tak satu pun keluarga menerima tanah itu. Sebaliknya, mereka menganggap dasar hukum kepemilikan yang dipunyai Kodam cacat hukum. Kodam berpegang pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 263/Kpts/Um/6/1973 tanggal 2 Juni 1973.


Surat keputusan itu menetapkan penyerahan Perkebunan Telogorejo kepada Kodam VIII (sekarang Kodam V/Brawijaya) dengan luas lahan 1.230.400 hektare yang tersebar di empat afdeling yakni Afdeling Banaran dan Afdeling Wonosari di Desa Harjokuncaran, serta Afdeling Pancurejo dan Afdeling Sumbermas di Desa Ringinkembar.


Fathurozi menegaskan, seharusnya urusan penyerahan tanah menjadi kewenangan BPN, bukan Menteri Pertanian, sehingga bukti kepemilikan Kodam dianggap cacat hukum.


Perseteruan warga Harjokuncaran melawan Puskopad sudah berlangsung selama 34 tahun. Perseteruan itu kembali memuncak dengan terjadinya bentrokan kedua belah pihak pada Jumat, 6 Juli lalu. Delapan warga dan dua prajurit Batalyon Zeni Tempur V/Kepanjen mengalami luka-luka.


http://www.tempo.co/read/news/2012/07/19/058418028/Warga-Harjokuncaran-Datangi-Kantor-BPN-Malang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar